Distribusi Pendapatan Nasional dan Kemiskinan di Indonesia
Masalah
besar yang dihadapi negara sedang berkembang adalah disparatis (ketimpangan)
distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi memicu
terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya kemiskinan. Membiarkan
kedua masalah tersebut berlarut-larut akan membuat keadaan masalah tersebut
semakin buruk, dan tidak jarang menimbulkan konsekuensi negatif terhadap
kondisi sosial dan politik. Masalah kesenjangan dan kemiskinan tidak saja
dihadapi negara yang sedang berkembang, namun negara yang maju sekalipun tidak
terlepas dari permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar
kecilnya tingkat kesenjangandan angka kemiskinan yang terjadi,serta kesulitan
mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu
negara. Semakin besar angka kemiskinan ,semakin tinggi pula tingkat kesulitan
mengatasinya. Negara maju menunjukan tingkat kesenjangan pendapatan dan angka
kemiskinan dan relative kecil dibanding negara yang sedang berkembang,dan untuk
mengatasinya terlalu sulit mengingat GDP dan GNP mereka relative tinggi.
Walaupun demikian masalah ini bukan hanya menjadi internal suatu negara,namun
telah menjadi permasalahan bagi dunia intenasional.
Analisis tentang
Distribusi Pendapatan
Di dalam suatu perekonomian pendapatan tercipta
melalui suatu kegiatan produksi. Kegiatan produksi berlangsung dengan bantuan
faktor-faktornya, seperti tanah, tenaga kerja, modal dan enterpreneur. Di satu pihak ada
perusahaan yang melakukan produksi dan di pihak lain ada kelompok masyarakat
selaku penyedia faktor-faktor produksi. Di dalam perputaran kegiatan
perekonomian, antara perusahaan dan rumah tangga (masyarakat) terjadi arus
timbal balik. Pihak rumah tangga menerima pembayaran atas harga dari faktor
produksi yang disediakan berupa gaji/upah, sewa bunga dan keuntungan. Pihak
perusahaan menerima pembayaran sebagai harga barang dan jasa yang
diproduksikan. Dari proses ini menimbulkan semacam pola pembagian pendapatan,
yang pada dasarnya dapat merupakan suatu ukuran tentang keadaan distribusi
pendapatan, yang dalam konteks teori ekonomi merupakan salah satu indikator
dalam pembangunan ekonomi seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Pada dasarnya ada dua
pendekatan analitis di dalam menilai distribusi pendapatan, yaitu:
a.
Distribusi pendapatanfungsional yang berasal
dari teori produktivitas marginal, atau lebih dikenal sebagai distribusi balas
jasa input dalam teori ekonomi mikro
b.
Distribusi pendapatan antar kelompok, atau
distribusi besarnya pendapatan relatif terhadap total. Pendekatan ini merupakan
konsep empiris untuk menentukan atau menilai bagaimana pendapatan total
populasi telah terbagi diantara unit-unit penerima pendapatan. Konsep
distribusi pendapatan fungsional adalah sumbangan dari para ahli ekonomi klasik
yang tertarik pada distribusi pendapatan di antara penduduk, dandengan anggapan
yang disederhanakan yakni pemilikan dari faktor-faktor produksi utama. Konsep
dari pendekatan ini, melacak pembagian pendapatan yang dihasilkan oleh kegiatan
produksi yang diikutsertakan dalam kegiatan tersebut. Perangkat analisisnya
adalah fungsi produksi serta alokasi faktor-faktor produksi yang diikutsertakan
dalam fungsi. Pendekatan ini jarang dipakai karena teori mendasarinya menilai
hubungan antara balas jasa input yang dipergunakan dengan output yang
dihasilkan di dalam suatu proses produksi spesifik. Pendekatan yang lazim
digunakan adalah pendekatan kedua, atau distribusi pendapatan antar kelompok.
Pada pendekatan ini ada dua cara yang lazim digunakan untuk langsung menilai
status distribusi pendapatan yaitu : a) penaksiran distribusi persentase
pendapatan yang diterima masing-masing golongan, b) penaksiran dengan indikator
khusus. Penaksiran pertama dilakukan dengan membagi kelompok-kelompok
pendapatan ke dalam decile atauquantile yang akan menggambarkan pola
pembagian pendapatan di dalam suatu kelompok masyarakat. Hasil dari
pengelompokkan ini merupakan suatu dasar untuk menggambarkan sebuah kurva
Lorenz. Kurva ini memperlihatkan hubungan kuantitatif yang sebenarnya (actual)
antara persentase penerima penghasilan dan persentase jumlah penghasilan yang
mereka terima sebenarnya dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun
(Todaro, 2008). Penaksiran yang kedua adalah menilai atau mengukur suatu
distribusi pendapatan berdasarkan indikator yang seringkali didekati dengan
cara statistik dan cara empiris. Cara statistik terdiri dari range, perbedaan
relatif, varian, Koefisien Pearson dan lainnya. Cara empiris meliputi Koefisien
Pareto, Koefisien Gini, Index Gibrat, Index Kuznets, Index Theil, Index Oshima
dan lainnya. Pendekatan lain yang seringkali digunakan untuk melengkapi kedua
pendekatan terdahulu, yakni pendekatan absolut dengan menggunakan ukuran batas
kemiskinan dan kebutuhan dasar manusia. Ukuran yang sering digunakan: kebutuhan
kalori dan protein, ukuran Sejogyo dan ukuran dari Bank Dunia.
Berbagai macam alat
pengukuran banyak dijumpai dalam mengukur tingkat distribusi pendapatan
penduduk. Diantara alat tersebut yang sangat umum dipergunakan adalah Gini
Indeks.
Kemiskinan yang
dikemukakan oleh beberpa ahli
Kemiskinan dalam
perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber
daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis
kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas.
Kemiskinan sebagai suatu
penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang
berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika
Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada
era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropah. Pada masa itu kaum
miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya
sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya
juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap
penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Kaum miskin biasanya disebut dengan kelompok masyarakat yang memiliki subkultur
tertentu yang berbeda dari golongan yang tidak miskin, seperti memiliki sikap
fatalis, tidak mampu melakukan pengendalian diri, berorientasi pada masa
sekarang, tidak mampu menunda kenikmatan atau melakukan rencana bagi masa
mendatang, kurang memiliki kesadaran kelas, atau gagal dalam melihat
faktor-faktor ekonomi seperti kesempatan yang dapat mengubah nasibnya
Ada beberapa pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli tentang sebuah kemiskinan :
Menurut, Oscar Lewis (1983)
orang-orang
miskin adalah kelompok yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup
karakteristik psikologis sosial, dan ekonomi.
Menurut, Philips dan Legates
(1981)
mengemukakan
beberapa pandangan tentang kemiskinan, yaitu pertama, kemiskinan
dilihat sebagai akibat dari kegagalan personal dan sikap tertentu khususnya
ciri-ciri sosial psikologis individu dari si miskin yang cendrung menghambat
untuk melakukan perbaikan nasibnya. Akibatnya, si miskin tidak melakukan
rencana ke depan, menabung dan mengejar tingkat pendidikan yang lebih
tinggi. Kedua, kemiskinan dipandang sebagai akibat dari sub budaya
tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Menurut, Flanagan (1994)
ada
dua pandangan yang berbeda tentang kemiskinan, yaitu culturalist dan
structuralist.Kulturalis cendrung menyalahkan kaum miskin, meskipun
kesempatan ada mereka gagal memanfaatkannya, karena terjebak dalam budaya kemiskinan.
Strukturalis beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat pada diri orang
miskin, tetapi adalah sebagai akibat dari perubahan priodik dalam bidang sosial
dan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi
dan sebagainya.
Menurut, BAPPENAS (1993)
mendefisnisikan
keimiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak
oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan
kekuatan yang ada padanya.
Menurut, Faturchman dan
Marcelinus Molo (1994)
mendefenisikan
bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya.
Menurut, Ellis (1994)
kemiskinan
merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi,
sosial politik.
Menurut, Suparlan
(1993)
kemiskinan
didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya
suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang
dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Menurut, Reitsma
dan Kleinpenning (1994)
mendefisnisikan
kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, baik
yang bersifat material maupun non material.
Menurut, Friedman
(1979)
mengemukakan
kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan basis
kekuasaan sosial, yang meliptui : asset (tanah, perumahan, peralatan,
kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi
sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama,
jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan
keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna.
Masing-masing pandangan
tersebut bukan hanya berbeda dalam konsep kemiskinan saja, tetapi juga dalam
implikasi kebijakan untuk menanggulanginya.
Jika dilihat dari
argumentasi diatas mayoritas kemiskinan yang hadir saat ini merupakan dominasi
kemiskinan struktural, tidak ada proses transformasi kelas dimana buruh tani
tetaplah menjadi buruh tani, begitu pula nelayan, pemulung, dan lain-lain.
Jikapun ada program penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek,
insidental, tidak berkelanjutan dan tidak mengena pada substansi atau menyentuh
akar dari kemiskinan.
Penanggulangan Kemiskinan
Teori
ekonomi mengatakan bahwa untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat
dilakukan peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal
investasi, dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka
diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya
tidak semudah itu. Lantas sapa yang dapat dilakukan?
Program-program
kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di berbagai negara. Sebagai perbandingan,
di Amerika Serikat program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk
meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara bagian, memperbaiki kondisi
permukiman perkotaan dan perdesaan, perluasan kesempatan pendidikan dan kerja
untuk para pemuda, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa,
dan pemberian bantuan kepada kaum miskin usia lanjut. Selain program
pemerintah, juga kalangan masyarakat ikut terlibat membantu kaum miskin melalui
organisasi kemasyarakatan, gereja, dan lain sebagainya.
Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula
dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung,
gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program
tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang
melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring
Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam
berbagai kegiatan. Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan kemiskinan
di perkotaan lebih mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat dengan
mendudukan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif.
Melalui partisipasi aktif ini dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran
tidak hanya berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan
program yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan
mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program. Nasib dari program, apakah akan
terus berlanjut atau berhenti, akan tergantung pada tekad dan
komitmen masyarakat sendiri.
Pertumbuhan dan pemerataan
dalam konteks pembangunan ekonomi Indonesia selama ini
Tujuan
dari pembangunan adalah kemakmuran bersama. Pemerataan hasil pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk menciptakan kemakmuran bersama merupakan
tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Tingkat pertumbuhan yang tinggi tanpa
disertai pemerataan pembangunan hanyalah menciptakan perekonomian yang lemah
dan eksploitasi sumber daya manusia yang tinggi untuk menciptakan kemakmuran
bersama. Dari segi pendidikan, Indonesia masih mengalami masalah
ketidakmerataan pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan akan mengakibatkan
rendahnya produktivitas dan berakibat pula pada rendahnya tingkat pendapatan.
Kesenjangan tingkat pendidikan mengakibatkan adanya kesenjangan tingkat
pendapatan yang semakin besar. Pemerataan hasil pembangunan perlu diupayakan
supaya pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemerataan
pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan merupakan salah satu upaya
penting yang diharapkan meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dengan
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Dan banyak hal yang dapat
dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatan pertumbuhan dan
pemerataan pembangynan Indonesia, sebagai contoh dengan mengefisiensikan
penerimaan pajak, meningkatkan perdagangan dengan luar negeri, meningkatkan
investasi langsung dan lain sebagainya.